Stunting dan Anemia Masih Hantui Pertumbuhan Anak Indonesia

Usia pertumbuhan merupakan masa krusial bagi anak yang mempengaruhi perkembangan fisik dan mentalnya. Salah satu komponen penting yang harus terpenuhi dalam masa ini adalah asupan gizi. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan berbagai masalah perkembangan pada anak, seperti anemia dan stunting, yang hingga saat ini masih menjadi ancaman bagi tumbuh kembang anak-anak di Indonesia.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang disebabkan oleh kekurangan asupan gizi yang memadai serta infeksi yang menghambat penyerapan nutrisi, seperti diare dan cacingan1. Gangguan ini ditandai dengan tinggi badan anak yang berada di bawah standar. Dampaknya tidak hanya pada fisik, tetapi juga pada perkembangan kognitif, motorik, dan verbal anak di masa depan. Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki prestasi akademik yang buruk ketika memasuki usia sekolah. Lebih jauh lagi, stunting meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis di masa dewasa, seperti obesitas, hipertensi, diabetes, hingga kanker2.
Meski angka stunting menunjukkan tren penurunan, prevalensinya di Indonesia masih cukup tinggi. Survei Kementerian Kesehatan pada tahun 2023 mencatat bahwa 21,5% balita di Indonesia menderita stunting. Faktor-faktor risiko yang berkontribusi terhadap stunting meliputi berat badan lahir rendah (BBLR), ibu dengan anemia dan kekurangan energi kronik (KEK), kurangnya pemahaman ibu tentang nutrisi anak, serta buruknya sanitasi rumah3,2.
Di sisi lain, anemia merupakan kondisi yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin atau sel darah merah. Hemoglobin berperan penting dalam membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Kekurangan hemoglobin menyebabkan gejala seperti kelelahan, pusing, lemas, dan napas pendek4. Pada anak, anemia dapat mengganggu fungsi otak, metabolisme, dan sistem imun, yang berakibat pada keterlambatan perkembangan motorik, penurunan kapasitas mental, dan prestasi akademik yang buruk5. Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi anemia pada anak usia 5-14 tahun adalah 26,8%, dan pada usia 15-24 tahun sebesar 32%6. Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling umum ditemukan. Zat besi, yang merupakan komponen penting dalam pembentukan sel darah merah, didapat dari makanan seperti hati, daging, kacang-kacangan, sayuran hijau gelap, dan buah-buahan7.
Hubungan Stunting dan Anemia
Lantas, apakah anemia dan stunting pada anak berkaitan? Sebuah studi menunjukkan bahwa anak dengan anemia memiliki risiko 2,27 kali lebih besar untuk mengalami stunting8. Penelitian lain mencatat bahwa 24,5% anak dengan anemia defisiensi besi juga mengalami stunting9. Zat besi, selain berperan dalam pembentukan sel darah merah, juga diperlukan dalam pembentukan jaringan tubuh. Kekurangan zat besi dapat menghambat pertumbuhan fisik anak karena terganggunya proses sintesis protein dan DNA yang merupakan komponen penyusun tubuh. Selain itu, kondisi ini melemahkan sistem imun, sehingga anak lebih rentan terkena infeksi. Infeksi yang terjadi dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan anak9.
Untuk menciptakan generasi masa depan yang unggul, perlu dilakukan upaya pencegahan masalah terkait gizi pada anak sejak dini. Pencegahan stunting dan anemia pada anak dapat dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Pada masa kehamilan, ibu dianjurkan untuk mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan tablet tambah darah untuk mendukung perkembangan janin. Setelah lahir, pemberian ASI eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan berperan penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi. Seiring bertumbuhnya fisik bayi, MPASI yang bergizi dan kaya protein hewani diperlukan untuk mendukung kebutuhan gizi setelah bayi berusia di atas 6 bulan. Beberapa bahan makanan kaya zat besi yang dapat dipilih seperti bayam, brokoli, daging merah, ikan, hati sapi, dan ayam4. Selain pemenuhan gizi, pemantauan tumbuh kembang anak secara rutin melalui posyandu juga menjadi langkah penting untuk deteksi dini dan pencegahan masalah terkait perkembangan anak2.
Artikel di-review oleh apt. Raspati Dewi Mulyaningsih, M.Farm.
Referensi
- WHO (2015). Stunting in a nutshell. Who.int. Tersedia daring pada: https://www.who.int/news/item/19-11-2015-stunting-in-a-nutshell#:~:text=Stunting%20is%20the%20impaired%20growth,infection%2C%20and%20inadequate%20psychosocial%20stimulation. [Diakses 8 Jan. 2025].
- Kementrian Kesehatan RI. (2024). 4 Cara Mencegah Stunting. Tersedia daring pada: https://upk.kemkes.go.id/new/4-cara-mencegah-stunting [Diakses 12 Jan. 2025].
- Apriluana, Gladys dan Sandra Fikawati. 2018. Analisis Faktor-Faktor Risiko terhadap Kejadian Stunting pada Balita (0-59 Bulan) di Negara Berkembang dan Asia Tenggara. Media Litbangkes. Vol. 28 No. 4, 247 – 256.
- WHO (2019). Anaemia. Who.int. Tersedia daring pada: https://www.who.int/health-topics/anaemia#tab=tab_1 [Diakses 12 Jan. 2025].
- Gaston, R.T., Faustin Habyarimana and Ramroop, S. (2022). Joint modelling of anaemia and stunting in children less than five years of age in Lesotho: a cross-sectional case study. BMC Public Health, 22(1). doi:https://doi.org/10.1186/s12889-022-12690-3.
- Kementrian Kesehatan RI. (2022). Remaja Bebas Anemia: Konsentrasi Belajar Meningkat, Bebas Prestasi. Tersedia daring pada: https://ayosehat.kemkes.go.id/remaja-bebas-anemia-konsentrasi-belajar-meningkat-bebas-prestasi#:~:text=Anemia%20merupakan%20salah%20satu%20masalah,pada%20usia%2015%2D24%20tahun. [Diakses 12 Jan. 2025].
- Warner, M.J. and Kamran, M.T. (2023). Iron Deficiency Anemia. Nih.gov. Tersedia daring pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448065/ [Diakses 12 Jan. 2025].
- Oktarina, C., Charisma Dilantika, Sitorus, N.L. and Basrowi, R.W. (2024). Relationship Between Iron Deficiency Anemia and Stunting in Pediatric Populations in Developing Countries: A Systematic Review and Meta-Analysis. Children, Vol. 11(10). doi:https://doi.org/10.3390/children11101268.
- Al Ghwass, M.M.; Halawa, E.F.; Sabry, S.M.; Ahmed, D. Iron deficiency anemia in an Egyptian pediatric population: A cross-sectional study. Ann. Afr. Med. 2015, 14, 25–31
- Flora, R., Zulkarnain, M., Fajar, N.A., Jasmine, A.B., Yuliana, I., Tanjung, R., Sulaiman, S., Putra, S.A., Martini, S. and Aguscik, A. (2022). Factors Associated with Iron Deficiency in Elementary School Children. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, 10(E), pp.97–100. doi:https://doi.org/10.3889/oamjms.2022.7800.
ARTIKEL TERKAIT
ARTIKEL POPULER
-
Manfaat Minyak Jarak (Castor Oil) untuk Kulit, Rambut, dan Lainnya
20 Feb 2024 16:28
-
Cara Menurunkan Berat Badan Berbasis Ilmiah
21 Mar 2023 18:25
-
Apa itu Peptida? Apa Saja Manfaat Peptida untuk Tubuh?
20 Feb 2024 16:28
-
Mengenal Antibodi Monoklonal sebagai Targeted Therapy
5 Sep 2023 11:55
Komentar
Belum ada komentar