Skincare

Suntik Vitamin C, Amankah?

Ditulis oleh Ellen Nathania Yunita, S.Farm.
1 Nov 2025 05:18
Thumbnail Suntik Vitamin C, Amankah?
Sumber: https://www.cosmetier.com/wp-content/uploads/2022/01/Picture1.jpg

Belakangan ini, suntik vitamin C semakin populer dan ditawarkan oleh berbagai klinik maupun rumah sakit. Dalam bidang kecantikan, manfaat yang dijanjikan sangat menggiurkan, seperti mencerahkan kulit, mengurangi kerutan, dan memperbaiki tekstur kulit. Namun, pertanyaannya: benarkah suntik vitamin C dapat memberikan semua manfaat tersebut? Dan apakah ada efek jangka panjang yang perlu diwaspadai?

 Vitamin C, atau asam askorbat, merupakan salah satu vitamin yang umum dijumpai dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Buah-buahan seperti jeruk, lemon, dan jambu biji dikenal akan kandungan vitamin C yang tinggi. Vitamin ini memiliki beragam manfaat penting bagi tubuh seperti menangkal radikal bebas, mencegah perkembangan jenis kanker tertentu, menurunkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, meningkatkan sistem imun, serta meningkatkan penyerapan zat besi yang penting bagi pembuatan sel darah merah1.

Kebutuhan vitamin C harian tiap orang berbeda sesuai usia dan jenis kelamin. Pria dewasa memerlukan 90 mg vitamin C per hari, Sedangkan wanita dewasa kebutuhan vitamin C sebesar 75 mg per hari. Bagi perokok, kebutuhan ini meningkat sebesar 35 mg lebih banyak dibanding orang yang tidak merokok akibat peningkatan stress oksidatif1. Jika tubuh kekurangan vitamin C, dapat muncul gejala seperti pendarahan, penebalan kulit, hingga gangguan pada sel darah2Dalam bentuk suplemen, vitamin C merupakan salah satu vitamin yang paling mudah dijumpai baik dalam bentuk tablet, tablet hisap, tablet effervescent, gummy candy hingga serbuk. Dosis yang ditawarkan juga beragam, mulai 5 mg hingga 1000 mg. Lantas, apa yang membedakan vitamin C oral dengan yang diberikan melalui suntikan?

Untuk dapat memberikan efek, suatu senyawa harus masuk ke dalam sistem peredaran darah. Vitamin C yang dikonsumsi secara oral atau melalui mulut harus melewati proses penyerapan di usus halus sebelum masuk ke pembuluh darah3. Sementara itu, vitamin C yang diberikan melalui suntikan langsung masuk ke sirkulasi darah tanpa melalui proses pencernaan, sehingga efeknya bisa dirasakan lebih cepat dan kadar vitamin yang masuk ke dalam pembuluh darah menjadi lebih tinggi. Dampaknya, vitamin yang diberikan melalui suntikan menimbulkan efek lebih cepat karena langsung masuk ke dalam pembuluh darah4.

 Namun, perlu dipahami bahwa indikasi medis untuk pemberian vitamin C secara suntik sangat terbatas. Hingga saat ini, pemberian vitamin C secara suntik hanya diindikasikan untuk penderita penyakit scurvy yang tidak dapat menerima vitamin C melalui mulut5,6. Scurvy merupakan penyakit yang disebabkan kekurangan vitamin C yang ditandai dengan kelelahan, kehilangan nafsu makan, mudah marah, nyeri sendi dan otot, gusi membengkak atau berdarah, bercak merah atau biru pada kulit kaki dan kulit mudah memar7. Selain itu, saat ini berbagai penelitian dilakukan untuk meninjau potensi penggunaan injeksi vitamin C untuk meningkatkan efektivitas terapi kanker8. Meski demikian, penggunaan untuk keperluan estetika atau kecantikan belum mendapat persetujuan resmi, karena belum cukup bukti ilmiah yang mendukung efektivitas maupun keamanannya.

 Selain itu, pemberian suntik vitamin C tanpa indikasi medis yang tepat tidak bebas dari potensi efek samping. Beberapa efek yang mungkin timbul antara lain sakit kepala, flushing yang ditandai dengan kulit kemerahan dan rasa terbakar, mual dan muntah, serta pusing. Lebih jauh lagi, penggunaan vitamin C dosis tinggi dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan risiko batu ginjal dan kadar asam urat, karena berkontribusi terhadap peningkatan keasaman urin2.

Refrensi

  1. NIH. (2025). Office of Dietary Supplements - Vitamin C. Tersedia daring pada: https://ods.od.nih.gov/factsheets/VitaminC-HealthProfessional/ [Diakses 20 Jul. 2025].
  2. Abdullah, M., Jamil, R.T. and Attia, F.N. (2023). Vitamin C (Ascorbic Acid). Tersedia daring pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499877/ [Diakses 20 Jul. 2025].
  3. Alagga, A.A., Pellegrini, M.V. and Gupta, V. (2024). Drug Absorption. Tersedia daring pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557405/ [Diakses 21 Jul. 2025].
  4. Cyriac, J.M. and James, E. (2014). Switch over from intravenous to oral therapy: A concise overview. Journal of Pharmacology and Pharmacotherapeutics, 5(2), pp.83–87. doi:https://doi.org/10.4103/0976-500x.130042.
  5. Mims.com. (2020). Ascorbic acid. Tersedia daring pada: https://www.mims.com/indonesia/drug/info/ascorbic-acid?mtype=generic [Diakses 20 Jul. 2025].
  6. Mayo Clinic. (2025). Ascorbic acid (intravenous route) - Side effects & uses. Tersedia daring pada: https://www.mayoclinic.org/drugs-supplements/ascorbic-acid-intravenous-route/description/drg-20406580 [Diakses 21 Jul. 2025].
  7. NHS website (2017). Scurvy. Tersedia daring pada: https://www.nhs.uk/conditions/scurvy/ [Diakses 20 Jul. 2025].
  8. E. Klimant, Wright, H., Rubin, D., Seely, D. and Markman, M. (2018). Intravenous Vitamin C in the Supportive Care of Cancer Patients: A Review and Rational Approach. Current Oncology, 25(2), pp.139–148. doi:https://doi.org/10.3747/co.25.3790.


Komentar

Belum ada komentar